Ketika kita berada di dalam keadaan yang baik-baik mungkin lebih mudah bagi kita untuk “melayani” dan “mengasihi” Tuhan. Tetapi seringkali kesulitan atau bahkan penderitaan dapat menjadi ujian apakah kita benar-benar mengasihi Tuhan. Dan ketika kesulitan atau bahkan badai di dalam kehidupan kita datang, hal ini dapat membukakan apakah isi hati kita yang sesungguhnya.
Saya ambil contoh satu cerita seseorang yang bernama May. May seorang gadis yang senang belajar Alkitab. May aktif di gereja dan dikenal sebagai seorang yang suka melayani. Sampai satu saat May mengalami krisis ketika dia ditinggal oleh kekasihnya Steve. Dan karena kejadian pahit itu, May menyalahkan Tuhan dan dia meninggalkan pelayanan.
Ada contoh lain lagi. Hendra adalah seorang yang bergumul di dalam hidupnya untuk melayani Tuhan sepenuh waktu. Dia rajin mengikuti pembinaan, seminar-seminar dan kulih-kuliah teologi. Dia memasuki seminari di tahun kedua. Hendra aktif di dalam pelayanan dan banyak orang diberkati oleh pelayanannya. Sampai satu peristiwa Hendra konflik dengan rekannya. Ketika konflik itu Hendra melakukan kesalahan yang memalukan dengan menjelekan rekannya di dalam kotbahnya. Dosen akhirnya memutuskan untuk menghukum dia cuti selama 1 semester. Hendra merasa malu dan akhirnya tidak melanjutkan panggilannya.
Ada contoh lain juga dari cerita Alkitab. Rasul Simon Petrus seorang yang dipanggil Tuhan Yesus. Dia begitu antusias di dalam mengikut Yesus. Dia menyerahkan hidupnya untuk mengikut Yesus. Sampai satu saat Tuhan Yesus menanyakan kepada murid-muridNya mengenai siapakah Dia? Petrus menjawab Engkau adalah Mesias Anak Allah yang hidup. Jawaban teologis yang tepat yang dikatakan Petrus karena anugerah Tuhan. Tetapi ketika Yesus sedang diadili, Petrus menyangkal Yesus sebanyak 3x. Di saat kesulitan Petrus lebih takut pada manusia daripada mengasihi Tuhan Yesus.
Dari semua cerita diatas ini kita dapat merefleksikan sesuatu. Adalah mudah untuk mengatakan mengasihi Tuhan dan melayaniNya disaat kita sedang dalam kondisi baik. Dalam kondisi diterima. Di dalam kondisi sehat. Di dalam kondisi prima. Di dalam kondisi kelimpahan. Tetapi adalah tidak mudah untuk mengasihi Tuhan dan melayuniNya di saat kondisi buruk. Kondisi banyaknya penolakan. Kondisi ejekan dan hinaan. Kondisi sakit ataupun kondisi kemiskinan. Untuk melukiskan pemahaman ini saya mencoba menjelaskan melalui analogi sepasang suami istri. Sepasang suami istri berjanji di dalam janji nikah untuk setia di dalam saat sehat maupun sakit, saat kelimpahan maupun kekurangan, saat dan kondisi apapun di dalam hidup mereka sampai kematian memisahkan mereka. Ketika sedang lancar-lancar saja mungkin lebih mudah untuk mengasihi. Dan tentunya lebih sulit ketika di dalam keadaan hari gelap untuk terus mengasihi. Karena itu kasih orang Kristen bukan kasih romantik. Kasih orang Kristen seharusnya adalah kasih Karena itu kasih orang Kristen bukan kasih romantik. Kasih orang Kristen seharusnya adalah kasih yang belajar terus komitmen untuk berkorban. Kasih agape.
Panggilan kita mengasihi dan melayani Tuhan adalah seperti relasi suami istri. Kita dipanggil untuk mengasihi Tuhan dan melayaniNya di dalam setiap kondisi. Relasi kita dengan Kristus adalah diikat di dalam perjanjian. Dan ini seperti janji nikah. Tetapi banyak peristiwa di dalam hidup ini menyatakan bahwa seringkali kita tidak setia terhadap Tuhan. Dan bersyukur Tuhan setia kepada kita.
Di dalam kasus May, May melayani Tuhan kalau dia masih ada Steve. Ketika Steve pergi maka peristiwa itu membuktikan bahwa dia lebih mengasihi Steve daripada mengasihi Tuhan. Kalau tidak ada Steve dalam hidupnya maka May menjadi kosong dan tidak ada kekuatan untuk mengasihi Tuhan. Di dalam kasus Hendra, dia tidak bisa mengatasi marahnya dia akibatnya kemudian dia tidak bisa mengatasi rasa malunya dihukum dosen sehingga dia memilih untuk meninggalkan pelayanan. Rasa malunya sudah menjadi ilah yang dia lebih pentingkan daripada Tuhan. Dalam kasus Petrus, kita tahu Petrus lebih takut manusia daripada menderita bersama dengan Kristus. Di dalam kesimpulan semua kasus ini dibukakan bahwa seringkali manusia lebih mengasihi dirinya daripada mengasihi Tuhan.
Peristiwa-peristiwa di dalam hidup kita seringkali membukakan realita hati kita yang sesungguhnya. Respon kita terhadap satu kejadian menyatakan hati kita dan apa yang kita sembah sesungguhnya. Secara positif dalam anugerah Tuhan kita bersyukur kalau kita diijinkan Tuhan diuji di dalam banyak peristiwa. Semuanya itu untuk menguji kita dan membawa dalam proses pemurnian iman.
Bersyukur kepada Tuhan karena Dia setia di dalam perjanjianNya dengan kita. Ketika kita jatuh, kita dapat berharap kepada kasihNya yang tidak berubah kepada kita anak-anakNya. Marilah kita belajar mengasihi Tuhan baik dalam kondisi baik maupun sulit.
Jeffrey Lim
26-12-2012
Saya ambil contoh satu cerita seseorang yang bernama May. May seorang gadis yang senang belajar Alkitab. May aktif di gereja dan dikenal sebagai seorang yang suka melayani. Sampai satu saat May mengalami krisis ketika dia ditinggal oleh kekasihnya Steve. Dan karena kejadian pahit itu, May menyalahkan Tuhan dan dia meninggalkan pelayanan.
Ada contoh lain lagi. Hendra adalah seorang yang bergumul di dalam hidupnya untuk melayani Tuhan sepenuh waktu. Dia rajin mengikuti pembinaan, seminar-seminar dan kulih-kuliah teologi. Dia memasuki seminari di tahun kedua. Hendra aktif di dalam pelayanan dan banyak orang diberkati oleh pelayanannya. Sampai satu peristiwa Hendra konflik dengan rekannya. Ketika konflik itu Hendra melakukan kesalahan yang memalukan dengan menjelekan rekannya di dalam kotbahnya. Dosen akhirnya memutuskan untuk menghukum dia cuti selama 1 semester. Hendra merasa malu dan akhirnya tidak melanjutkan panggilannya.
Ada contoh lain juga dari cerita Alkitab. Rasul Simon Petrus seorang yang dipanggil Tuhan Yesus. Dia begitu antusias di dalam mengikut Yesus. Dia menyerahkan hidupnya untuk mengikut Yesus. Sampai satu saat Tuhan Yesus menanyakan kepada murid-muridNya mengenai siapakah Dia? Petrus menjawab Engkau adalah Mesias Anak Allah yang hidup. Jawaban teologis yang tepat yang dikatakan Petrus karena anugerah Tuhan. Tetapi ketika Yesus sedang diadili, Petrus menyangkal Yesus sebanyak 3x. Di saat kesulitan Petrus lebih takut pada manusia daripada mengasihi Tuhan Yesus.
Dari semua cerita diatas ini kita dapat merefleksikan sesuatu. Adalah mudah untuk mengatakan mengasihi Tuhan dan melayaniNya disaat kita sedang dalam kondisi baik. Dalam kondisi diterima. Di dalam kondisi sehat. Di dalam kondisi prima. Di dalam kondisi kelimpahan. Tetapi adalah tidak mudah untuk mengasihi Tuhan dan melayuniNya di saat kondisi buruk. Kondisi banyaknya penolakan. Kondisi ejekan dan hinaan. Kondisi sakit ataupun kondisi kemiskinan. Untuk melukiskan pemahaman ini saya mencoba menjelaskan melalui analogi sepasang suami istri. Sepasang suami istri berjanji di dalam janji nikah untuk setia di dalam saat sehat maupun sakit, saat kelimpahan maupun kekurangan, saat dan kondisi apapun di dalam hidup mereka sampai kematian memisahkan mereka. Ketika sedang lancar-lancar saja mungkin lebih mudah untuk mengasihi. Dan tentunya lebih sulit ketika di dalam keadaan hari gelap untuk terus mengasihi. Karena itu kasih orang Kristen bukan kasih romantik. Kasih orang Kristen seharusnya adalah kasih Karena itu kasih orang Kristen bukan kasih romantik. Kasih orang Kristen seharusnya adalah kasih yang belajar terus komitmen untuk berkorban. Kasih agape.
Panggilan kita mengasihi dan melayani Tuhan adalah seperti relasi suami istri. Kita dipanggil untuk mengasihi Tuhan dan melayaniNya di dalam setiap kondisi. Relasi kita dengan Kristus adalah diikat di dalam perjanjian. Dan ini seperti janji nikah. Tetapi banyak peristiwa di dalam hidup ini menyatakan bahwa seringkali kita tidak setia terhadap Tuhan. Dan bersyukur Tuhan setia kepada kita.
Di dalam kasus May, May melayani Tuhan kalau dia masih ada Steve. Ketika Steve pergi maka peristiwa itu membuktikan bahwa dia lebih mengasihi Steve daripada mengasihi Tuhan. Kalau tidak ada Steve dalam hidupnya maka May menjadi kosong dan tidak ada kekuatan untuk mengasihi Tuhan. Di dalam kasus Hendra, dia tidak bisa mengatasi marahnya dia akibatnya kemudian dia tidak bisa mengatasi rasa malunya dihukum dosen sehingga dia memilih untuk meninggalkan pelayanan. Rasa malunya sudah menjadi ilah yang dia lebih pentingkan daripada Tuhan. Dalam kasus Petrus, kita tahu Petrus lebih takut manusia daripada menderita bersama dengan Kristus. Di dalam kesimpulan semua kasus ini dibukakan bahwa seringkali manusia lebih mengasihi dirinya daripada mengasihi Tuhan.
Peristiwa-peristiwa di dalam hidup kita seringkali membukakan realita hati kita yang sesungguhnya. Respon kita terhadap satu kejadian menyatakan hati kita dan apa yang kita sembah sesungguhnya. Secara positif dalam anugerah Tuhan kita bersyukur kalau kita diijinkan Tuhan diuji di dalam banyak peristiwa. Semuanya itu untuk menguji kita dan membawa dalam proses pemurnian iman.
Bersyukur kepada Tuhan karena Dia setia di dalam perjanjianNya dengan kita. Ketika kita jatuh, kita dapat berharap kepada kasihNya yang tidak berubah kepada kita anak-anakNya. Marilah kita belajar mengasihi Tuhan baik dalam kondisi baik maupun sulit.
Jeffrey Lim
26-12-2012
www.iccccty.com
No comments:
Post a Comment